Sejak 2009, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 1999 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya telah berubah menjadi Universitas Negeri Surabaya yang kemudian dikenal dengan sebutan Unesa.
Perubahan kelembagaan dari instititut menjadi universitas membawa konsekuensi penyelenggaraan pendidikan dan fakultas. Meskipun sama-sama berstatus sebagai perguruan tinggi, antara institut dengan universitas ada perbedaan mengenai bidang ilmu yang diselenggarakan. Institut merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi satu jenis ilmu saja, meskipun dalam perkembangannya juga tidak selalu konsisten. Sedangkan universitas merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam banyak bidang ilmu.
Ketika masih berstatus sebagai institut, IKIP surabaya hanya menyelenggarakan satu bidang ilmu, yaitu ilmu pendidikan, tidak ada bidang ilmu lain. Meskipun IKIP Surabaya memiliki enam fakultas (pada waktu itu), semua fakultasnya adalah fakultas pendidikan. Hal ini terlihat dari namanya, yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP); Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA); Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS); fakultas Pendidikan Teknik dan kejuruan (FPTK); Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS); dan Fakultas Pendidikan Olahraga dan kesesehatan (FPOK). Begitu juga gelar sarjana yang dihasilkan IKIP adalah sama yaitu sarjana pendidikan.
Perubahan status dari IKIP Surabaya menjadi Unesa juga disertai perubahan nama fakultas. Nama-nama fakultas tidak lagi fakultas pendidikan, melainkan sesuai dengan rumpun ilmu yang diselenggarakan. Nama fakultas berubah menjadi Fakultas Matematia dan Ilmu Alam (FMIPA); Fakultas Bahasa dan Seni (FBS); Fakultas Teknik (FT); Fakultas Ilmu Sosial (FIS), dan sekarang berubah menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH), karena di dalamnya ada prodi Ilmu Hukum, dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), meskipun dalam Organisasi Tata Kelola (OTK) yang baru namanya Fakultas Ilmu Olahraga (FIO). Sedangkan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) tidak berubah, karena fakultas ini telah mencerminkan rumpun ilmu yaitu ilmu pendidikan.
Meskipun nama-nama fakultas tidak lagi fakultas pendidikan, namun di dalamnya masih menyelenggarakan prodi pendidikan. Hal ini berbeda dengan universitas yang juga menyelenggarakan program studi pendidikan, seperti Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Universitas Jember (Unej) yang program studi pendidikannya diwadahi dalam satu fakultas, yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Di FMIPA, selain ada prodi nonpendidikan (matematika, fisika, kimia, dan biologi) ada juga prodi pendidikan matematika, prodi pendidikan fisika, prodi pendidikan kimia, dan prodi pendidikan biologi, serta prodi pendidikan IPA. Begitu juga fakultas lainnya, di dalamnya juga ada prodi pendidikan dan prodi nonpendidikan. Seluruh prodi pendidikan yang ada saat berstatus sebagai IKIP, masih tetap ada sampai sekarang.
Oleh karena itu, bersamaan dengan perubahan status dari institut menjadi universitas juga disertai dengan perluasan mandat (wider mandate). Salah satu wujud dari perluasan mandat yang diberikan kepada Unesa adalah diberi kesempatan membuka program-program studi nonpendidikan yang relevan untuk mendukung konpetensi keilmuan bagi calon guru, karena salah satu tugas Unesa adalah menghasilkan guru. Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru, selain menguasai ilmu pendidikan (pedagogik), juga menguasai bidang ilmu yang akan diajarkan. Dengan waktu yang sama dengan sarjana lain (4 tahun), sarjana pendidikan harus menguasai dua bidang ilmu, yaitu ilmu pendidikan dan ilmu yang akan diajarkan. Bahkan sarjana pendidikan juga dituntut memiliki keterampilan mengajar, yang diasah melalui program pengelaman lapangan (PPL). Dengan waktu studi yang sama dengan lulusan dari perguruan tinggi lainya, namun harus menguasai dua bidang ilmu serta keterampilan, membawa konsekuensi bahwa pada umumnya sarjana pendidikan lemah dalam penguasaan bidang ilmu yang akan diajarkan. Dari sisi substansi keilmuan, sarjana pendidikan bisa dikatakan lebih lemah bila dibandingkan dengan sarjana yang berasal dari universitas.
Perkuat Bidang Keilmuan Lulusan
Pembukaan program studi nonpendidikan juga dimaksudkan untuk memperkuat bidang keilmuan dari lulusan yang nanti akan menjadi guru. Dengan adanya program studi nonpendidikan, berarti ada dosen-dosen yang berlatar belakang bidang ilmu yang akan diajarkan oleh para guru. Kehadiran dosen-dosen yang berlatar bidang ilmu nonpendidikan diharapkan akan memperkuat penguasaan ilmu dari para sarjana pendidikan, dari segi konsep maupun teori, sehingga pada saat mengajarkan ilmu di sekolah tidak lagi terjadi miskonsep. Menurut penelitian Prof. Dr. Suyono, M.Pd, yang saat ini menjabat sebagai Dekan FMIPA, banyak guru yang miskonsep dalam mengajar. Hal ini diduga disebabkan mereka pada saat kuliah tidak memperoleh materi keilmuan secara utuh dan benar. Inilah satu satu misi dari perluasan mandat.
Dengan adanya Undang Undang Guru dan Dosen (UUGD), yang mensyaratkan guru tidak cukup dengan lulusan sarjana (S1), tetapi harus mengikuti pendidikan profesi. Untuk melanjutkan pendidikan profesi juga membutuhkan biaya, dan tidak semua lulusan sarjana pendidikan Unesa memiliki kemampuan untuk melanjutkan ke pendidikan profesi. Dalam UUGD juga disebutkan bahwa untuk menjadi guru tidak harus sarjana pendidikan, sarjana nonpendidikan juga bisa asal bidang ilmunya sesuai dengan yang akan diajarkan dan lulus pendidikan profesi. Di sisi lain, jumlah lulusan sarjana pendidikan setiap tahun melebihi dari kebutuhan guru. Ini berarti akan ada sarjana pendidikan yang tidak bisa terserap sebagai guru, maka muncul pertanyaan, bagaimana dengan lulusan sarjana pendidikan yang tidak bisa terserap sebagai guru?. Pertanyaan ini tentu menjadi beban moral bagi Unesa. Oleh karena itu, perlu dicari terobosan untuk menmecahkan masalah yang akan dihadapi oleh para lulusan Unesa.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Unesa memiliki tugas untuk menyiapkan sumber daya manusia, yang berkualifikasi diploma, sarjana, magister, maupun doktor. Sampai saat ini, Unesa memiliki 87 Program studi pendidikan dan nonpendidikan yang tersebar dalam 7 fakultas. Jumlah prodi di masing-masing fakultas tidak sama. Fakultas yang memiliki prodi paling banyak adalah Fakultas Teknik, yaitu 17 prodi. Sedangkan fakultas yang paling sedikit jumlah prodinya adalah Fakultas Ilmu Keolahragaan, yaitu 3 prodi. Selain itu ada juga fakultas-fakultas yang memiliki prodi, yang sebenarnya merupakan rumpun ilmu tersendiri, seperti prodi ilmu hukum di FISH, prodi psikologi di FIP. Di FT memiliki varian prodi yang sangat besar, dan juga bisa dipecah menjadi fakultas baru. Pemecahan FT menjadi fakultas baru, selain untuk perumpunan bidang ilmu juga dimaksudkan untuk mengurangi beban manajemen fakultas. Oleh karena itu, Unesa, ingin mengembangkan fakultas baru sebagai bentuk perumpunan prodi yang sudah ada.
Di antara fakultas baru yang akan dibuka adalah Fakultas Hukum, Fakultas Psikologi, Fakultas Seni dan Industri kreatif, fakultas ilmu kerumahtanggaan dan pariwisata dan fakultas informatika. Bahkan, ada rencana membuka Fakultas Kesehatan Masyarakat sebagai wujud rencana merger STIKESDA Lamongan dan fakultas vokasi untuk mewadahi program D3 yang ada di Unesa. Di antara fakultas baru yang akan dibentuk tersebut saat ini sudah diajukan ke Menristekdikti. Fakultas-fakultas baru itu nantinya benar-benar fakultas nonpendidikan, karena di dalamnya tidak ada prodi pendidikan.
Pembukaan fakultas baru juga dimaksudkan untuk memperkuat eksistensi Unesa sebagau suatu universitas, yang menyelenggarakan berbagai program studi yang diwadahi dalam suatu fakultas. Dengan fakultas baru juga diharapkan mampu meningkatkan peran serta Unesa dalam pembangunan nasional, melalui penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan fakultas baru sangat dimungkinkan untuk dibuka prodi-prodi yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja. Oleh karena itu, untuk menjadi universitas yang “besar” penataan fakultas harus dilakukan.
Memang pembukaan program studi baru, khususnya nonpendidikan dan fakultas vokasi membawa konsekuensi yang tidak mudah. Apalagi, sekarang pemerintah membatasi hanya prodi eksak dan vokasi yang boleh dibuka. Pembukaan prodi baru nonpendidikan membutuhkan dukungan sarana laboratorium yang memadai, sebagai tempat untuk penelitian dan sekaligus mendukung proses belajar mengajar. Tanpa laboratorium yang memadai, pengembangan ilmu dan pembuktian teori akan sulit dilakukan. Begitu juga dengan fakultas vokasi, menuntut bengkel (tempat praktik) yang sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada. Kika kita ingin mengembangkan Unesa sebagai suatu perguruan tinggi dengan nama universitas, harus dilakukan penataan fakultas dan pemenuhan sarana dan prasarana, terutama laboratorium. Dan, yang tidak kalah penting adalah penyiapan sumber daya manusia (dosen), dari segi keilmuan maupun komitmen untuk pengembangan ilmunya. Ini semua perlu perencanaan yang matang dan komitmen semua pihak, terutama para pimpinan Unesa. (Prof. Dr. Warsono, Rektor Unesa)
Share It On: