
www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id. SURABAYA—Peringatan Hari Buruh atau May Day setiap 1 Mei merupakan momentum penting dalam meneguhkan perjuangan kelompok pekerja untuk memperoleh hak dan keadilan dalam dunia kerja.
“Hari Buruh adalah ekspresi perjuangan kesejahteraan kaum pekerja, bukan semata aksi melawan,” ucap Agus Machfud Fauzi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FIsipol) Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Menurutnya, Hari Buruh lahir dari perjuangan panjang yang tidak hanya simbolis, tetapi menyuarakan realitas nasib para buruh. Substansi peringatannya terletak pada dorongan untuk pemenuhan hak-hak buruh yang dinilai masih belum sepenuhnya terpenuhi hingga saat ini.
Ia menekankan, demonstrasi yang dilakukan buruh seharusnya tidak dimaknai secara negatif. Demonstrasi merupakan salah satu saluran sah untuk menyampaikan aspirasi yang tidak dapat disalurkan melalui mekanisme negosiasi atau mediasi biasa, sebagaimana yang kerap dilakukan kelompok lainnya.
Lebih lanjut, dosen pengampu mata kuliah sosiologi politik itu juga menyoroti berbagai isu yang masih dihadapi buruh, seperti belum optimalnya penerapan upah minimum kota (UMK) atau upah minimum provinsi (UMP), serta belum terhubungnya kepentingan buruh dengan pengusaha secara proporsional.
Menurutnya, disparitas ini menciptakan anggapan seolah-olah buruh hanya sebatas tenaga kerja tanpa posisi yang lebih manusiawi dalam sistem ekonomi.
“Buruh perlu dimanusiakan. Mereka bukan sekadar pekerja, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang utuh,” tegas Koordinator Program Studi (Koorprodi) S-1 Sosiologi itu.
Lebih lanjut, ia mengkritisi maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang menurutnya cenderung gegabah dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang bertanggung jawab.
Ia menyebut bahwa badai PHK justru memperkeruh nasib buruh dan memperbesar angka pengangguran, yang pada akhirnya menjadi beban negara.
Sebagai akademisi, dosen dengan lebih dari 5 HKI itu mengajak institusi pendidikan untuk turut mendampingi buruh atau pekerja sebagai mitra gerakan sosial.
Ia menilai kelompok intelektual perlu hadir dalam proses pendampingan agar perjuangan buruh tidak hanya bergantung pada tenaga dan aksi fisik, tetapi juga dilandasi oleh argumentasi yang kuat dan terarah.
Terakhir, ia mendorong perlunya revisi terhadap undang-undang ketenagakerjaan dan penyusunan mitigasi kebijakan yang mampu mencegah PHK semena-mena. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hak dan masa depan buruh tetap terjaga dalam ekosistem pembangunan yang inklusif dan adil.[]
***
Reporter: Saputra (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Rawrixel.com
Share It On: